29 May 2020
Program Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) Kementerian Pertanian (Kementan) semakin diminati petani. Hal itu tampak dari realisasi AUTP yang sudah mencapai 333.505,91 hektare (ha) atau 41,69% dari target 1 juta ha tahun 2020. Kementan menargetkan realisasi AUTP hingga bulan Mei mencapai 430.000 ha. Salah satu daerah yang tinggi realisasi AUTP-nya adalah Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, sekitar 69.933 ha. Selain Lamongan, daerah lain yang realisasi AUTP-nya tinggi di Jawa Timur adalah Kabupaten Jombang dengan 35.173,94 ha, dan Bojonegoro dengan 32.054,05 ha. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengeaskan, AUTP dibutuhkan untuk melindungi petani dari sejumlah risiko seperti gagal panen akibat perubahan iklim, banjir, serangan hama dan dan penyakit/Organisme Penggangu Tumbuhan (OPT). "Untuk menghindarkan petani dari keadaan tersebut, pemerintah memberikan solusi berupa program Asuransi Usaha Tani Padi atau AUTP. Program ini diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap risiko ketidakpastian dengan menjamin petani mendapatkan modal kerja untuk berusaha tani dari klaim asuransi," tutur Syahrul di Jakarta, Rabu (28/5/2020). Dia melanjutkan untuk mendapatkan program ini, petani bisa bergabung dalam sebuah kelompok tani. Setelah memahami manfaat jaminan kerugian yang didapat dari program asuransi pertanian, petani bisa segera mendaftarkan diri. "Waktu pendaftaran biasanya paling lambat berlangsung 30 hari sebelum musim tanam dimulai. Untuk mendaftarkan diri, petani juga akan mendapat pendampingan khusus dari petugas UPTD Kecamatan serta Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL)," jelasnya. Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Sarwo Edhy menegaskan, AUTP menjamin petani mendapatkan perlindungan. Selain itu, petani juga dapat memastikan pembiayaan pertanaman di musim berikutnya. "AUTP diselenggarakan dengan tujuan untuk memberikan perlindungan kepada petani dengan mengalihkan risiko kepada pihak lain, yakni pertanggungan asuransi," terangnya. Dia mengatakan, sasaran penyelenggaraan AUTP adalah terlindunginya petani dengan memperoleh ganti rugi jika mengalami gagal panen. "Berdasarkan ketentuan dalam polis, klaim akan diperoleh jika intensitas kerusakan mencapai 75% berdasarkan luas petak alami tanaman padi. Pembayaran klaim untuk luas lahan 1 ha sebesar Rp6 juta," terangnya. Program AUTP ini hanya mewajibkan petani membayar Rp36.000 per ha per musim tanam, sementara sisanya atau sebesar Rp144.000 ditanggung oleh pemerintah. Bila terjadi gagal panen akibat hama, kekeringan, dan banjir, maka petani bisa mendapatkan ganti rugi sebesar Rp6 juta per ha. "Preminya murah karena dapat subsidi dari pemerintah, jadi hanya Rp36.000 per ha dari aslinya Rp180.000. Sayang sekali kalau petani tidak ikut. Karena jika mereka gagal panen, kan ada uang yang akan cair sebesar Rp6 juta per ha. Ini kan sangat membantu petani," kata Sarwo Edhy. Kementan juga mencatat peserta AUTP mulai meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Sarwo, hal ini karena pelaksanaan asuransi pertanian ini telah dirasakan memberikan berbagai keuntungan bagi petani/peternak. "Petani dan peternak semakin mengerti manfaat dan peluang dari asuransi ini. Hanya dengan yang sangat murah, petani dan peternak bisa tidur tenang. Petani tidak takut lahannya rusak terkena banjir, kekeringan atau terserang hama penyakit," tuturnya. Di bagian lain, untuk realisasi Asuransi Usaha Ternak Sapi atau Kerbau (AUTS/K) sudah mencapai Total 21.365 ekor atau 17,80% dari target 120.000. Realisasi AUTS/K sampai bulan Mei 2020 ditargetkan sebesar 32.194 ekor. AUTS/K menawarkan ganti rugi sebesar Rp10 juta per ekor jika mati dan Rp7 juta per ekor jika hilang. Premi yang ditawarkan sebesar Rp200.000/ekor/tahun, di mana Rp160.000 ditanggung pemerintah dan Rp40.000 ditanggung peternak. Sumber: ekbis.sindonews.com/read/47656/34/realisasi-asuransi-usaha-tani-padi-sudah-4169-dari-target-1590552338
Lebih LanjutDinas Peternakan (Disnak) Kabupaten Bone memberi rasa aman bagi para peternak dengan jaminan garansi melalui program Asuransi Ternak. Pada 2020 ini, sudah hampir 1.000 ekor ternak yang telah terdaftar dan masih banyak pula ternak lain yang belum tereksekusi karena adanya pandemi Corona. "Asuransi ternak itu tetap berjalan tapi kita belum bisa memberi pelayanan karena adanya Corona. Jadi ditunda dulu untuk sementara," jelas Kadisnak Aris Handono. Aris Handono menambahkan, kendati program ini tertunda, tapi pendaftaran sudah banyak yang tereksekusi. "Kita sementara menunggu, nanti setelah diberi keleluasan untuk mengumpulkan peternak baru bisa memberi pelayanan," ungkapnya. Adapun tujuan dari asuransi ternak itu kata Haris adalah untuk memberikan rasa aman pada para peternak. "Dengan membayar administrasi Rp40 ribu apabila selama satu tahun dan dikemudian hari ternak atau sapi mati karena penyakit atau karena melahirkan dan faktor lain-lain maka pemerintah akan ganti dengan nilai Rp10 juta," ujar Aris Handono. "Ini artinya kita memberikan rasa aman supaya mereka tidak dihantui perasaan was-was jika sapi tiba-tiba mati," jelasnya. (sug/ril) Sumber : bonepos.com/2020/05/27/imbas-corona-asuransi-ternak-ditutup-sementara
Lebih LanjutAsosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menilai industri asuransi umum sudah cukup banyak menerima insentif untuk mengantisipasi dampak penyebaran Covid-19. Insentif itu dihadirkan melalui relaksasi Otoritas Jasa Keungan (OJK) dan pembebasan pajak oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). "Sejauh ini dari Industri asuransi sudah cukup banyak insentif untuk pelaku usaha asuransi maupun pengguna asuransi. Sifatnya adalah kebijakan dalam bentuk relaksasi," kata Direktur Eksekutif AAUI Dody Achmad Sudiyar Dalimunthe, belum lama ini. Dia memaparkan, insentif pertama datang dari OJK dengan menerbitkan POJK 14/2020 tentang Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) bagi Lembaga Jasa Keuangan Nonbank, salah satunya yakni industri asuransi umum. Menurut Dody, kebijakan tersebut untuk mengantisipasi potensi pemburukan kondisi perusahaan akibat dampak Covid-19. Dody menambahkan, insentif lain juga dihadirkan pemerintah melalui Kemenkeu. "Tapi jangan lupa bahwa Kementrian Keuangan juga mengeluarkan insentif pembebasan PPh 21 dan PPh 25 yang berdampak fiskal untuk karyawan," terang dia. Dody menerangkan, seluruh relaksasi yang dibalut melalui kebijakan itu umumnya secara pelaksanaan diserahkan kepada masing-masing perusahaan dalam bentuk diskresi. Adapun relaksasi tersebut juga dirasakan para anggota AAUI yang didomonasi oleh perusahaan swasta. Dia pun menilai, rasa cukup akan relaksasi yang telah disodorkan berbagai pihak tentu tergantung penyikapan dari masing-masing pelaku usaha. Saat ini, menejerial dari para memimpin perusahaan baik BUMN atau swasta diuji agar kelangsungan usaha bisa baik dan aman. Namun pada kesempatan berbeda, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Gita Wirjawan pada Rabu (20/5), menyampaikan, bahwa kebijakan pemulihan ekonomi masih bersifat diskriminatif terhadap sektor swasta. Padahal, swasta berkontribusi besar dalam membayar pajak dan penyerapan tenaga kerja. Dia memaparkan, penerimaan pajak mencapai 15 kali lipat dari Rp 116 triliun pada tahun 2020 menjadi Rp 1.786 triliun pada tahun 2019. Capaian itu antara lain juga karena kontribusi swasta. Kemudian, peran swasta terhadap PDB bahkan mencapai 87%. Gita mengatakan, program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang tertuang dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan Peraturan Pemetintah (PP) Nomor 23 merupakan kebijakan yang sangat mulia. Apalagi semangat yang diusung dapat memuat unsur keadilan sosial, prinsip kehati-hatian, dan dukungan untuk pelaku usaha. Namun dia menyoroti, PP Nomor 23 menyiratkan perhatian yang cukup besar terhadap para UMKM, khsusunya kepentingan restrukturisasi utang beberapa BUMN yang jumlahnya mencapai Rp 400 triliun. "Sedangkan penempatan dana yang direncanakan oleh pemerintah di bank perantara hanya sekitar Rp 34 triliun. Ini pun dilakukan bukan dalam bentuk jaminan dari pemerintah sehingga risiko kredit akan diambil oleh para bank perantara yang kemungkinan besar akan menolak atau sulit mengambil risiko kredit tersebut," tandas Gita. Sumber : brt.st/6AVE
Lebih LanjutAsosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menilai industri asuransi umum sudah cukup banyak menerima insentif untuk mengantisipasi dampak penyebaran Covid-19. Insentif itu dihadirkan melalui relaksasi Otoritas Jasa Keungan (OJK) dan pembebasan pajak oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). "Sejauh ini dari Industri asuransi sudah cukup banyak insentif untuk pelaku usaha asuransi maupun pengguna asuransi. Sifatnya adalah kebijakan dalam bentuk relaksasi," kata Direktur Eksekutif AAUI Dody Achmad Sudiyar Dalimunthe, belum lama ini. Dia memaparkan, insentif pertama datang dari OJK dengan menerbitkan POJK 14/2020 tentang Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) bagi Lembaga Jasa Keuangan Nonbank, salah satunya yakni industri asuransi umum. Menurut Dody, kebijakan tersebut untuk mengantisipasi potensi pemburukan kondisi perusahaan akibat dampak Covid-19. Dody menambahkan, insentif lain juga dihadirkan pemerintah melalui Kemenkeu. "Tapi jangan lupa bahwa Kementrian Keuangan juga mengeluarkan insentif pembebasan PPh 21 dan PPh 25 yang berdampak fiskal untuk karyawan," terang dia. Dody menerangkan, seluruh relaksasi yang dibalut melalui kebijakan itu umumnya secara pelaksanaan diserahkan kepada masing-masing perusahaan dalam bentuk diskresi. Adapun relaksasi tersebut juga dirasakan para anggota AAUI yang didomonasi oleh perusahaan swasta. Dia pun menilai, rasa cukup akan relaksasi yang telah disodorkan berbagai pihak tentu tergantung penyikapan dari masing-masing pelaku usaha. Saat ini, menejerial dari para memimpin perusahaan baik BUMN atau swasta diuji agar kelangsungan usaha bisa baik dan aman. Namun pada kesempatan berbeda, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Gita Wirjawan pada Rabu (20/5), menyampaikan, bahwa kebijakan pemulihan ekonomi masih bersifat diskriminatif terhadap sektor swasta. Padahal, swasta berkontribusi besar dalam membayar pajak dan penyerapan tenaga kerja. Dia memaparkan, penerimaan pajak mencapai 15 kali lipat dari Rp 116 triliun pada tahun 2020 menjadi Rp 1.786 triliun pada tahun 2019. Capaian itu antara lain juga karena kontribusi swasta. Kemudian, peran swasta terhadap PDB bahkan mencapai 87%. Gita mengatakan, program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang tertuang dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan Peraturan Pemetintah (PP) Nomor 23 merupakan kebijakan yang sangat mulia. Apalagi semangat yang diusung dapat memuat unsur keadilan sosial, prinsip kehati-hatian, dan dukungan untuk pelaku usaha. Namun dia menyoroti, PP Nomor 23 menyiratkan perhatian yang cukup besar terhadap para UMKM, khsusunya kepentingan restrukturisasi utang beberapa BUMN yang jumlahnya mencapai Rp 400 triliun. "Sedangkan penempatan dana yang direncanakan oleh pemerintah di bank perantara hanya sekitar Rp 34 triliun. Ini pun dilakukan bukan dalam bentuk jaminan dari pemerintah sehingga risiko kredit akan diambil oleh para bank perantara yang kemungkinan besar akan menolak atau sulit mengambil risiko kredit tersebut," tandas Gita. Sumber : brt.st/6AVE
Lebih LanjutAsosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menilai industri asuransi umum sudah cukup banyak menerima insentif untuk mengantisipasi dampak penyebaran Covid-19. Insentif itu dihadirkan melalui relaksasi Otoritas Jasa Keungan (OJK) dan pembebasan pajak oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). "Sejauh ini dari Industri asuransi sudah cukup banyak insentif untuk pelaku usaha asuransi maupun pengguna asuransi. Sifatnya adalah kebijakan dalam bentuk relaksasi," kata Direktur Eksekutif AAUI Dody Achmad Sudiyar Dalimunthe, belum lama ini. Dia memaparkan, insentif pertama datang dari OJK dengan menerbitkan POJK 14/2020 tentang Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) bagi Lembaga Jasa Keuangan Nonbank, salah satunya yakni industri asuransi umum. Menurut Dody, kebijakan tersebut untuk mengantisipasi potensi pemburukan kondisi perusahaan akibat dampak Covid-19. Dody menambahkan, insentif lain juga dihadirkan pemerintah melalui Kemenkeu. "Tapi jangan lupa bahwa Kementrian Keuangan juga mengeluarkan insentif pembebasan PPh 21 dan PPh 25 yang berdampak fiskal untuk karyawan," terang dia. Dody menerangkan, seluruh relaksasi yang dibalut melalui kebijakan itu umumnya secara pelaksanaan diserahkan kepada masing-masing perusahaan dalam bentuk diskresi. Adapun relaksasi tersebut juga dirasakan para anggota AAUI yang didomonasi oleh perusahaan swasta. Dia pun menilai, rasa cukup akan relaksasi yang telah disodorkan berbagai pihak tentu tergantung penyikapan dari masing-masing pelaku usaha. Saat ini, menejerial dari para memimpin perusahaan baik BUMN atau swasta diuji agar kelangsungan usaha bisa baik dan aman. Namun pada kesempatan berbeda, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Gita Wirjawan pada Rabu (20/5), menyampaikan, bahwa kebijakan pemulihan ekonomi masih bersifat diskriminatif terhadap sektor swasta. Padahal, swasta berkontribusi besar dalam membayar pajak dan penyerapan tenaga kerja. Dia memaparkan, penerimaan pajak mencapai 15 kali lipat dari Rp 116 triliun pada tahun 2020 menjadi Rp 1.786 triliun pada tahun 2019. Capaian itu antara lain juga karena kontribusi swasta. Kemudian, peran swasta terhadap PDB bahkan mencapai 87%. Gita mengatakan, program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang tertuang dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan Peraturan Pemetintah (PP) Nomor 23 merupakan kebijakan yang sangat mulia. Apalagi semangat yang diusung dapat memuat unsur keadilan sosial, prinsip kehati-hatian, dan dukungan untuk pelaku usaha. Namun dia menyoroti, PP Nomor 23 menyiratkan perhatian yang cukup besar terhadap para UMKM, khsusunya kepentingan restrukturisasi utang beberapa BUMN yang jumlahnya mencapai Rp 400 triliun. "Sedangkan penempatan dana yang direncanakan oleh pemerintah di bank perantara hanya sekitar Rp 34 triliun. Ini pun dilakukan bukan dalam bentuk jaminan dari pemerintah sehingga risiko kredit akan diambil oleh para bank perantara yang kemungkinan besar akan menolak atau sulit mengambil risiko kredit tersebut," tandas Gita. Sumber : brt.st/6AVE
Lebih LanjutIndustri asuransi tanah air ikut menjadi terdampak pandemi corona COVID-19. Kondisi itu setidaknya tercermin dari laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mencatat perolehan premi asuransi per Maret 2020 yang tumbuh lambat. Kontraksi paling lambat dialami sektor asuransi jiwa. "Premi asuransi jiwa turun signifikan. [Pertumbuhan per Maret 2020] terkoreksi menjadi minus 13,8 persen," ungkap Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam paparan pers yang digelar virtual, Senin (11/5/2020) lalu. Padahal, lanjut Wimboh pada Desember 2019, premi asuransi jiwa hanya minus 0,38 persen. Artinya, penurunan penerimanaan premi asuransi jiwa tercatat sangat dalam. Secara umum, industri asuransi nasional memang tercatat kurang sehat di tengah pandemi corona saat ini. Bagaimana tidak, bila mengacu pada catatan OJK, premi asuransi nasional hanya tumbuh 3,65 persen hingga Maret 2020. Padahal, pada Desember 2019 industri asuransi masih mampu mencatat pertumbuhan premi hingga 15,65 persen. Premi asuransi ibarat 'darah' pada industri asuransi. Rendahnya penerimaan premi jelas bikin pelaku industri asuransi jadi pusing tujuh keliling. Akibatnya, kinerja keuangan industri asuransi pun ikut goyang. Itu tercermin dari rasio kesehatan keuangan atau risk based capital (RBC) industri asuransi yang mengalami penurunan menjadi hanya 642,7 persen di Maret 2020. Angka itu lebih rendah dari catatan akhir tahun 2019 yang masih berada di 789 persen. RBC merupakan tolak ukur yang dapat memberitahu tingkat keamanan finansial atau kesehatan perusahaan asuransi. RBC dikatakan sehat bila nilainya semakin besar. Pengajar Ilmu Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Hotbonar Sinaga mengungkap, perlambatan kinerja di industri asuransi ini memang tak lepas dari pandemi virus Corona yang tengah melanda ibu pertiwi. Adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka membatasi pergerakan masyarakat saat pandemi corona COVID-19, justru membuat tenaga pemasaran atau agen asuransi tak leluasa bergerak untuk melakukan penawaran premi baru ke masyarakat. "Intinya COVID-19 mengakibatkan aktivitas sales terkendala. Enggak bisa melakukan pertemuan untuk jelaskan produk asuransi. Pasti akan terjadi penurunan produksi tahun ini dibanding 2019," tutur Hotbonar(20/5/2020). Kondisi ini membuat perusahaan asuransi harus memutar otak untuk melakukan penyesuaian. Bila tak gesit, tentu saja umur mereka tak akan panjang. "Asuransi yang tidak melakukan penyesuaian tahun depan akan celaka. Sementara pemasaran fokus pada mempertahankan existing business atau renewal. Sulit cari new business, paling-paling intensifikasi bisnis dari tertanggung yang ada," jelasnya. Senada dengan Hotbonar, pengamat asuransi sekaligus Arbiter Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) Irvan Rahardjo memastikan bisnis asuransi turut terdampak pandemi corona COVID-19 saat ini. Tak adanya pertemuan agen dengan nasabah ataupun kunjungan nasabah ke kantor asuransi menjadi faktor menurunnya kinerja sektor asuransi. PSBB sebenarnya bukan satu-satunya biang keladi pendapatan premi asuransi mengalami penurunan. Menurut Irvan, rendahnya daya beli masyarakat juga jadi pukulan hebat bagi industri ini. Tak bisa dipungkiri, PSBB yang diberlakukan di sejumlah kota sudah bikin banyak orang kehilangan sumber pendapatannya. Banyak laporan dari sejumlah industri yang terpaksa merumahkan pekerjanya tanpa upah dan gaji imbas pandemi ini. Ini jelas bikin sebagian besar masyarakat mengencangkan ikat pinggang dan terpaksa memangkas alokasi belanja mereka yang dianggap bukan prioritas, salah satunya adalah asuransi jiwa. "Sebagian besar masyarakat, pengeluran paling utama dikorbankan adalah soal asuransi. Karena menghadapi kebutuhan nyata, kesehatan, konsumsi, makanan dan minuman, pakaian, itu utama dibanding asuransi," ucap Irvan. Tak berhenti di situ, Irvan melihat ada juga faktor regulasi yang secara tak langsung memberi dampak bagi permintaan masyarakat terhadap asuransi. Regulasi yang dimaksud adanya arahan dari OJK kepada perbankan untuk memberikan relaksasi kredit kepada para nasabahnya. Bagi nasabah, ini memberikan penurunan risiko yang secara tak langsung membuat permintaan terhadap asuransi menjadi menurun. "Karena ada restrukturisasi relaksasi kredit sehingga ada banyak penurunan dari sisi kebutuhan asuransi karena memang kan resiko jadi menurun," jelas Irvan. Seperti diketahui, lanjut Irvan, setiap kredit perbankan selalu disertai dengan jaminan asuransi baik kepada produk kolateral yang dijaminkan maupun jaminan asuransi jiwa bagi nasabah penerima kredit. Perbankan tidak memberi kredit bila tidak ada jaminan asuransi. "Dengan relaksasi kredit pelunasan itu diperpanjang, maka asuransi dengan sendirinya mengalami pengurangan. Aktivitas menurun," ungkapnya. Bertahan atau gagal bayar hingga ancaman PHK perlambatan kinerja industri asuransi jelas bukan tanpa efek samping. Ada banyak dampak bahaya yang mungkin terjadi bila pemerintah tak bergegas memberi perhatian bagi industri ini. Pertama yang jelas adalah dampak langsung ke perusahaan asuransi dan segenap karyawan yang bekerja di dalamnya. Dia mengatakan, ada risiko lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap tenaga kerja yang terhubung langsung dengan industri asuransi. Hal ini tentu tak bisa dihindarkan bila perusahaan asuransi tak lagi sanggup bertahan. "Kalau lihat kondisi sekarang, pertama yang akan kena adalah tenaga agen. Jumlahnya bisa 5.000 sampai 10.000 yang akan mengalami penyusutan. Setelah itu 6 bulan, yang akan terkena adalah tenaga-tenaga formal struktural dan pegawai asuransi," ucap Irvan. Itu belum seberapa, ada dampak yang lebih serius yang bisa saja melanda bila industri ini ambruk. Bila situasi ini tak membaik dalam 6 bulan ke depan, maka likuditas perusahaan asuransi bakal terus menipis. Berikutnya adalah cadangan perusahaan asuransi itu sendiri. Bila sudah begini, nasib buruk yang melanda industri asuransi tentu bisa merembet dampaknya bagi nasabah pemegang polis asuransi. Bukan tidak mungkin perusahaan asuransi bakal kesulitan memenuhi kewajiban membayarkan klaim asuransi kepada para pemegang polisnya. "Baik cadangan premi maupun cadangan klaim," tegasnya. Melihat kondisi ini, Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattof menilai ide pembentukan lembaga penjamin polis menjadi sangat mendesak dan perlu segera direalisasikan oleh pemerintah. Lembaga macam ini diperlukan untuk menjamin masyarakat tetap bisa memperoleh haknya bila kondisi terburuk melanda perusahaan asuransi tempat mereka mempercayakan perlindungannya. "Solusinya buat asuransi itu bikin lembaga semacam LPS [Lembaga Penjamin Simpanan]. Kan perbankan ada LPS kan, nah asuransi belum ada. Kalau ada lembaga penjamin, masalah saat ini sampai masalah kemarin seperti dua kasus perusahan asuransi ternama akan selesai," jelas Abra. Sumber : tirto.id/fCqG
Lebih LanjutFrequently Asked Question
Pengaduan Konsumen